22 Maret 2011

Mengenang 104 Tahun Mr Amir Sjarifuddin Sang Pembaru (27 April 1907)

Oleh Jones Batara Manurung

Tidak banyak referensi dapat dijadikan rujukan untuk menelusuri jejak Amir Sjarifuddin. Tentang langkanya referensi itu, Pendeta Frederiek Djara Wellem dalam tesisnya, Mr Amir Syarifuddin tempatnya dalam kekristenan dan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia (STT Jakarta, 1982), mengungkapkan, "dalam karya-karya sejarah Indonesia, nama Amir Syarifuddin tidak banyak disebut. Agaknya tokoh ini dan perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia agak disembunyikan, barangkali karena berhubungan erat dengan 'pemberontakan' PKI di Madiun 18 September 1948". Tesis Pendeta Frederiek itu pada 1984 pernah diterbitkan Pustaka Sinar Harapan, namun terpaksa dihancurkan karena dilarang pemerintah saat itu. Hal serupa juga pernah dialami Majalah Prisma tahun 1982 ketika menerbitkan ringkasan biografi Amir pada hari ulang tahun ke-75.
Buku Amir Sjarifuddin antara Negara dan Revolusi, ditulis Jacques Lecrec (diterbitkan pertama kali oleh Monash Papers onSoutheast, 1993), merupakan buku yang cukup bagus, setidaknya menjadi pelepas dahaga bagi mereka yang membutuhkan informasi tentang Amir. Terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Jaringan Kerja Budaya, Jakarta, 1996. Kelemahannya sebagaimana yang diungkapkan penerbit, buku tersebut lebih tepat disebut sebagai renungan tentang Amir ketimbang tulisan ilmiah yang menyajikan fakta dan interpretasi dalam langgam yang ketat. Dari beberapa referensi itulah penulis coba memotret Amir plus dari sejarah GMKI yang juga sangat terbatas merekam jejak Amir, ia memang tercatat sebagai aktivis CSV op Java (cikal bakal GMKI).

Amir Sjarifuddin memang tidak seperti Bung Karno atau Bung Hatta yang banyak meninggalkan tulisan. Beberapa tulisan pendek pernah ditulis Amir. Antara lain, pertama "Pemberontakan di Spanyol dan Hukum Internasional" dimuat di nomor perdana berkala bulanan Ilmoe dan Masjarakat. Kedua, "Adaptasi Kata-kata Asing dan Konsep-konsep ke Dalam Bahasa Indonesia", makalah yang disampaikan pada Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938. Ketiga, "Adat dan Pergerakan", makalah yang disampaikan pada Kongres Rakyat Indonesia pada Desember 1939. Keempat, pada Natal tahun 1942 Badan Persiapan Persatuan Kaum Kristen di Kebun Binatang (sekarang Taman Ismail Marzuki), Amir menulis "Menuju ke Jemaat Indonesia Asli". Praktis memang kita sangat kesulitan memahami pemikiran-pemikiran Amir secara utuh oleh minimnya referensi. Di masa mendatang kondisi itu mudah-mudahan saja menjadi daya tarik tersendiri untuk meneliti dan mengungkap tentang Amir lebih jauh. Harapan ini dapat terwujud bila provokasi picik dan pandangan keliru tentang pemimpin Partai Sosialis yang radikal seperti Amir tidak semakin mewabah.
Konsistensi Nonkooperatif Amir yang terlahir pada 27 April 1907 (pada tesis Pdt Frederiek disebut 27 Mei 1907), merupakan sosok yang secara total membaktikan hidupnya sepanjang 20 tahun (1928-1948) kepada suatu keyakinan bahwa revolusi nasional harus menohok pada sistem imperialisme itu sendiri. Hal itu tampak saat perjuangan melawan kolonialisme Belanda, tak ada kata kompromi dalam bentuk apa pun bagi Amir untuk negara penjajah. Ketika Jepang yang disambut antusias sebagai saudara tua oleh rakyat Indonesia, termasuk Bung Karno dan Hatta, langkah Amir justru sulit diduga banyak kalangan. Amir memanfaatkan Belanda untuk membangun gerakan bawah tanah menghancurkan fasisme Jepang. Bila ditelusuri, dalam hal ini Amir mendasarkan pada teori mengenai analisis terhadap krisis hubungan internasional, dan sistem politik global serta mengenai hubungan antara negeri jajahan dan penjajah yang merupakan bagian integral darinya. Gagasan Amir tidak mendapat sambutan dari sesama aktivis, sebab belum pulihnya kepercayaan mereka terhadap Amir oleh polemik di tahun 1940. Hal paling utama sebenarnya ialah tidak pahamnya mereka akan strategi Amir untuk kemerdekaan sepenuhnya. Kecenderungan saat itu, para aktivis menjalankan strategi berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan Jepang memberi kemerdekaan. Sejarah membuktikan prinsip Amir benar, sebab ternyata Jepang menjadi penjajah yang lebih kejam, bukan sebagai saudara tua yang melindungi apalagi memerdekakan.

Nonkooperatif merupakan sikap teguh Amir, berhadap-hadapan dengan problem pokok, itulah yang ditunjukkannya kepada semua pihak. Pada konteks terkini, tidak banyak berpandangan demikian, meski tata kelola Indonesia yang hampir sempurna kehancurannya, pemerintah justru masih sibuk dengan kebijakan-kebijakan "pemadam kebakaran". Bila Amir masih hidup, dengan alat analisisnya mungkin masih dapat menunjukkan problem pokok dan solusinya dengan tepat terhadap sistem penjajahan baru yang merangsek dewasa ini. Sikap nonkooperatif mengalami kebuntuan tatkala Amir berada dalam panggung kekuasaan. Pada situasi yang bergerak cepat, sangat sulit menemukan cara yang bisa mempertemukan antara negara dan revolusi, antara stabilitas dan perubahan, dan antara yang lama dan yang baru. Gambaran itu dapat disepadankan dengan pengalaman kepemimpinan Gus Dur pascareformasi yang kesulitan melakukan perubahan.

Dalam menyusun tentara nasional, Amir terinspirasi dengan "tentara masyarakat" pada pengalaman revolusi Prancis. Segala daya upaya dilakukan Amir untuk memberikan gambaran tentang tentara yang jiwa politiknya "kerakyatan", membuang paham korporatisme, patronase, dan faksionalisme. Namun hal itu mendapat banyak kritikan, akhirnya tidak dapat berkembang sebagai jiwa tentara Indonesia. Bersamaan dengan perjalanan waktu justru ide "dwifungsi" yang telah meresapinya, dan mengangkatnya menjadi golongan "supra-masyarakat". Dinamika itu pula yang menjatuhkan kepemimpinan Amir sebagai Perdana Menteri. Namun lagi-lagi sejarah membuktikan kekalahan dan kesendirian Amir hanya pada saat itu saja, sebab puluhan tahun setelah itu (Reformasi 1998) gemuruh suara rakyat mengumandangkan "tolak dwifungsi", sebagai buah dari konsistensi nonkooperatif.

Pembaru Spiritualitas Perjalanan Amir Sjarifuddin yang dinamik ternyata tidak pada kehidupan politiknya saja. Pengalaman spritualitas Amir juga cukup mengesankan. Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat, Amir lagi-lagi kontroversial dengan spritualitas baru bagi dirinya. Dia dibaptis di gereja HKBP Kernolong pada 1931oleh Pdt Peter Tambunan. Perkenalan terhadap kekristenan setidaknya dipengaruhi beberapa hal. Pertama, kakek Amir, Soetan Goenoeng Toea adalah penganut Kristen taat. Kedua, saat menempuh pendidikan di Belanda bersama sepupunya Sutan Gunung Mulia ia tinggal bersama penganut Calvinis taat. Ketiga, kedekatannya dengan mahagurunya ketika belajar di Tanah Air. Sudah pasti sangat sulit bagi keluarga dan relasinya memahami pilihan itu. Terlebih masyarakat Indonesia yang belum mampu melihat persoalan seperti itu dengan jernih, bahwa pilihan tersebut merupakan hal personal-transenden.

Tidak ada yang berubah dalam paradigma perlawanan Amir dengan status barunya sebagai Kristen. Justru kemajuan pemikirannya dapat menerobos kebekuan di kalangan Kristen saat itu. Sumbangan signifikan dalam perkembangan kekristenan, antara lain dalam tulisan "menuju ke jemaat yang asli" suatu teologi kontekstual dan merupakan ciri khas pemikiran Amir yang menunjukkan kesetiannya pada perlawanan terhadap penjajahan. Pada berbagai kesempatan Amir menyatakan, "seorang Kristen yang baik dapatlah juga sekaligus menjadi seorang nasionalis yang baik", hal ini suatu petunjuk tentang sintesa keagamaan dan kebangsaan Amir yang utuh. Begitulah Amir, setia dalam spiritualitas perjuangannya melawan penjajahan dengan strategi-taktik yang variatif. Hingga akhir hayat ketika maut datang melalui peluru bangsanya sendiri, ia tetap setia mengumandangkan lagu perjuangan semangat internasional dan Indonesia Raya dengan Injil di tangannya. Sesuatu yang membuktikan kesetiaannya pada prinsip bahwa relasi penjajahan dapat dibedah oleh spirit internasional itu, yang membumi dalam spirit antiimperialisme dan antikolonialisme sebagai wujud nasionalisme. Terpenting dari itu, prinsip tersebut secara utuh termanifestasi pada Injil yang tetap ia pegang erat pada akhir hayat.

Penulis adalah mantan pengurus pusat GMKI
sumber:www.suarapembaruan.com

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Klarifikasi: setelah melalui penelusuran berbagai referensi dan konfirmasi kepada keluarga besar almarhum Amir Sjarifoeddin, tanggal lahir bung amir sjarifoeddin adalah tanggal 27 Mei 1907. terima kasih. salam. jones batara manurung

Hengky Knightsun mengatakan...

Sebuah pencerahan yang baik Bang Jones B Manurung, sebagai sumber inspirasi selanjutnya dalam membangun Negara Yang bertanggungjawab, baik Kepada Allah, Sesama dan Negara. Ut Omens Unum Sint. Syalom.
#Syalam Hasugian.